[CERPEN] Saat Takdir Tak Mengizinkan

Foto: seseorang yang merindu/ majalahedutimes.com

Karya: Sofia Dwi Rahmawati*

Wajahmu begitu memesona, dengan mata tajam bak elang yang penuh ketegasan, alis tebal yang menambah kesan misterius, dan kulit kuning langsat yang memancarkan pesona alami yang memikat. Semua itu membuatku terpesona, tak bisa berpaling. Hai, tuan, siapakah engkau? Seorang pria berwibawa yang berhasil menarik perhatianku dengan begitu mudahnya

“Hai, nona, mengapa kau di sini sendirian, malam-malam begini?” tanya tuan itu dengan penuh perhatian.

Nona itu hanya menatapnya tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

“Ah, mungkin kau sedang dilanda banyak masalah,” tuan itu melanjutkan, sedikit menghela napas. “Tapi tolong, jangan biarkan dirimu terperangkap dalam kegelapan. Jangan sampai kau berpikir untuk mengakhiri hidup, apalagi dengan cara yang tragis. Itu terlalu aneh, nona.”

Dengan lembut, tuan itu mengeluarkan secangkir kopi yang masih hangat. “Ini, nona. Aku baru saja mengantri di kedai di ujung sana. Kopi ini buatmu,” katanya sambil menawarkan cangkir itu.Namun, nona itu tetap diam, tak memberikan jawaban.

Tuan itu tersenyum tipis, meski ada sedikit rasa kecewa. “Sudahlah, nona. Aku tidak punya banyak waktu. Semoga kita bisa bertemu lagi di lain kesempatan.”

Dengan cepat, tuan itu berbalik dan berlari pergi, meninggalkan nona itu sendirian. Nona itu berdiri, menatap punggung tuan tersebut yang perlahan menghilang di malam yang sunyi, menyisakan keheningan yang dalam.

Siapa tuan itu? Mengapa ia begitu baik memberi kopi padaku, tanpa ragu sedikit pun? Apakah aku begitu terlihat hancur di matanya, hingga ia merasa perlu melakukan itu? Aku bahkan belum sempat mengucapkan terima kasih padanya. Semoga saja suatu saat kita akan bertemu lagi.

Nona itu pun pergi, membawa kopi yang masih hangat, berharap sedikit kenyamanan dalam kesendiriannya.

Setiap malam, nona kembali ke tempat yang sama, tempat yang dulu mereka temui, dengan harapan dapat bertemu tuan itu lagi. Namun, malam demi malam berlalu tanpa ada tanda-tanda pertemuan. Tak ada jejak, tak ada wajahnya yang muncul. Sepertinya, takdir tak mempertemukan mereka lagi. Nona itu hanya bisa menatap malam yang sunyi, berpikir bahwa mungkin memang tak ada kesempatan kedua.

Derasnya hujan membasahi seluruh kota, menciptakan suasana yang sepi dan dingin. Nona itu berlindung di halte, membiarkan tubuhnya terlelap dalam pikirannya. Tanpa disadari, tuan yang ia cari-cari, yang selalu menghiasi angan-angannya, berdiri di sebelahnya.

“Hai, nona, kita bertemu lagi?” tuan itu menyapa dengan suara yang hangat. “Bagaimana keadaanmu? Sudah lebih baik dari sebelumnya? Hai, nona?” Ia melambaikan tangannya di depan wajah nona, seolah ingin memastikan ia tidak sedang berhalusinasi.

Nona itu terkejut, lalu terdiam, berpikir mungkin ini hanya sebuah ilusi. Namun, saat matanya menangkap kenyataan, ia tertegun—tuan itu memang nyata. Tuan yang selama ini dia cari akhirnya dipertemukan kembali. Tanpa bisa menahan perasaan, ia tersenyum tulus, mengucapkan kata-kata yang selama ini terpendam.

“Terima kasih,” ucap nona itu dengan suara lembut, seakan mengungkapkan segala yang ia rasakan dalam satu kata.

“Apa, nona?” pria itu terkejut, kemudian tertawa kecil. “Terima kasih? Untuk apa?” Ia melanjutkan, dengan wajah cerah dan senyum yang semakin lebar, “Astaga, akhirnya aku bisa mendengarkan suaramu, nona.”

Nona itu hanya bisa tersenyum, hatinya dipenuhi kebahagiaan yang tak terungkapkan, menyadari bahwa pertemuan yang selama ini ia harapkan, akhirnya menjadi kenyataan.

Untuk malam itu yang memberiku kopi dan menghiburku sejenak.

“Ya Tuhan, nona, itu hal kecil. Dan ya, kau belum menjawab pertanyaanku”.

“Aku sudah baik, sangat baik setelah malam itu. Warna yang kukira akan gelap, ternyata menjadi terang kembali. Dan ya, siapa namamu, tuan?”

“Mengapa nona? Apakah kau ingin berkenalan dengan pria ini? Panggil saja aku tuan. Suatu saat nanti, pasti kau akan tahu sendiri”.

“Ah, baiklah”. Nona itu pun mengeluarkan gantungan kunci dan memberikannya kepada tuan itu. “Ini sebagai hadiah kecil untukmu.”

“Tidak, aku ikhlas membantumu,” jawabnya dengan senyum manis.

Nona itu cukup terpesona, lalu sadar, dan dengan terburu-buru ia berkata, “Tidak, ini untukmu sebagai tanda perkenalan kita. Aku sudah terlambat, aku duluan. Sampai jumpa.”

Nona itu merasa cukup bahagia. Ia membuatku tertarik, entah apa yang membuatku tertarik padanya. Setiap malam, nona selalu memikirkan tuan itu dan berharap takdir akan selalu mempertemukan mereka.

Nona itu pun mengambil air wudhu dan berdoa, “Jika dia memang baik untukku, maka dekatkanlah. Namun, jika dia tidak baik untukku, jauhkanlah.” Setiap malam, ia berdoa dengan penuh harap.

Tanpa sengaja, mereka bertemu. Walaupun hanya sesaat, mereka mengobrol ringan. Hampir setiap kali mereka bertemu, itu terjadi tanpa rencana. Nona itu yakin bahwa pria yang berhasil menarik perhatiannya adalah takdirnya. Dengan keyakinan yang teguh, nona ingin mengungkapkan isi hatinya kepada tuan itu.

Ketika nona itu berjalan dan berdoa agar bisa dipertemukan lagi, akhirnya ia dipertemukan sekali lagi. Namun, seakan disambar petir, ia terkejut ketika tahu bahwa tuan yang ia kagumi ternyata berkeyakinan berbeda.

Nona itu mundur perlahan, namun tuan itu menyadari dan berusaha memanggilnya. Nona itu berlari, sementara tuan itu mengejar dan berusaha menahannya. Nona itu berhenti, berbalik badan, dan menatap tuan itu.

“Hai, nona, mengapa kau berlari? Dan mengapa kamu menangis?”

Nona itu tetap diam, tak menjawab.

“Tuan, hari Minggu nanti aku meminta tolong padamu. Bisakah kau menemuiku di tempat pertama kali kita bertemu?”

“Bisa, nona.”

“Baiklah, aku pergi dulu. Aku ada urusan mendadak.”

Tuan itu hanya bisa memandang punggung nona yang perlahan menghilang.

Nona itu merenung, merasa doanya telah dikabulkan. Ia mengambil air wudhu, merendahkan hati, dan berdoa, “Ternyata ini petunjuk-Mu, Tuhan. Pria yang ku kagumi, ternyata ia berbeda keyakinan .” Air mata mengalir deras saat ia terus berdoa, hingga akhirnya, perlahan ia tertidur di atas sajadah.

Hari pun berlalu. Hari Minggu, hari yang sudah mereka janjikan untuk bertemu. Tuan itu tiba lebih dulu dan melihat nona itu mendekatinya. Dalam hati, nona berbisik, “Aku harus kuat, aku tidak boleh lemah.”

“Hai, tuan,” ujar nona dengan suara bergetar, “Tidak perlu bertele-tele. Aku ingin berpamitan. Aku akan pergi ke luar kota, selamanya.”

“Ha? Apa maksudmu, nona? Mengapa? Kenapa tiba-tiba?” tanya tuan itu dengan kebingungan.

“Aku tak bisa menjelaskan, tuan. Sebagai perpisahan, kau harus menyimpan kenangan ini—gantungan kunci yang pernah aku beri padamu, dan kopi ini. Aku mentraktirmu. Waktu ku sudah habis. Aku pamit, sampai jumpa.”

Tuan itu belum sempat mengucapkan sepatah kata, nona itu sudah berlalu meninggalkannya.

Nona itu memutuskan ke laut, berjalan menuju pinggir laut, membawa sebuah botol kaca yang berisi surat. Di dalamnya, tertulis:

Nona merenung sejenak di pinggir laut, di tengah angin yang berdesir kencang dan ombak yang cukup tinggi. Seolah-olah lautan itu mencerminkan keadaan hatinya. Ia bertanya dalam hati, “Apakah ini mimpi? Jika ini mimpi, tolong bangunkan aku segera. Aku tak sanggup lagi menerima kenyataan ini.” Ternyata, semuanya adalah kenyataan. Nona hanya diam, menangis, dan berteriak sekencang-kencangnya, seakan ingin melepaskan segala perasaan yang terpendam.

Setiap malam, ia selalu pergi ke tempat di mana ia pertama kali bertemu dengan tuan itu, sebelum akhirnya benar-benar meninggalkan kota ini untuk selamanya.

“Aku selalu mencintaimu, tuan. Cintaku akan tetap sama untukmu. Kau telah kusimpan di tempat tersendiri di hatiku. Semoga suatu saat kita bisa bertemu di dimensi yang baru, dengan keyakinan yang sama.”

 

*) Penulis: Sofia Dwi Rahmawati, merupakan siswa dari SMKN 1 Pungging jurusan TITL

Related posts
Tutup
Tutup