[CERPEN] Misteri 4 Orang Pendaki

Foto: hantu penunggu di hutan (pinterest/ majalahedutimes.com)

Oleh: Ubaidillah Azzam Timur

Aku sangat penasaran dengan sebutan Gunung Penanggungan sebagai Gunung Pawitran atau gunung suci, yang konon dahulu kala pada masa kerajaan Majapahit selalu digunakan oleh para Resi dan Karysan untuk menyepi di keheningan alam agar mendapat petunjuk dan menyucikan dirinya dari kesalahan dunia menuju alam keabadian.

Terletak di Kabupaten Mojokerto (sisi barat) dan Kabupaten Pasuruan (sisi timur) dengan ketinggian 1.653 m. Kurang lebih 55 km sebelah selatan kota Surabaya. Gunung Penanggungan merupakan gunung kecil yang berada pada satu kluster dengan Gunung Arjuno dan Gunung Welirang yang jauh lebih besar. Besok aku bersama dengan tiga orang temanku Radit, Doni, dan Oza berencana untuk mendaki Gunung Penanggungan.

Sebelum berangkat mendaki, kami mempersiapkan bekal makanan, minuman, tenda, dan beberapa peralatan lainnya, dan berangkat sekitar pukul 19:00 malam. Ada beberapa jalur pendakian gunung penanggungan. Kami melewati jalur pendakian via Tamiajeng Trawas, karena desa ini yang terdekat dengan rumah. Hanya butuh waktu kurang lebih 25 menit perjalanan naik sepeda motor untuk bisa sampai di pos pendakian tersebut.

Bismillahitawakaltualalohu. Kami berangkat dan mendaki sedikit demi sedikit dataran tinggi kami taklukan satu per satu, sambil sesekali berhenti untuk istirahat minum dan untuk merasakan suasana malam hari yang cukup dingin dan gulita, ditambah riuhnya suara hewan malam yang saling bersahut-sahutan.

Sepanjang perjalanan aku sambil membayangkan keindahan puncak Gunung Penanggungan yang konon merupakan potongan Gunung Meru yang dibawa oleh dewa dari India ke Pulau Jawa. Karena gunung itu sangat berat dan perjalanannya sangat jauh ada bagian gunung yang jatuh di Jawa bagian barat, sehingga Pulau Jawa menjadi tenang setelah beberapa waktu mengalami kegoncangan. Kemudian para dewa membawa sisa gunungnya ke Jawa bagian Timur.

Puncak gunung yang jatuh itu sekarang dikenal sebagai Gunung Penanggungan dan badannya paling besar jatuh ke timurnya lagi menjadi Gunung Semeru. Gunung Meru di India dianggap sebagai tempat dewa. Dalam mitologi bentuknya adalah puncak dengan delapan bukit sehingga sudah jelas Gunung Penanggungan dianggap sebagai bagian dari Gunung Meru dan dianggap sebagai Gunung Suci pula.

Setelah beberapa jam perjalanan yang melelahkan, kami memutuskan untuk beristirahat sejenak di bawah pohon besar. Kami pun duduk di tanah, mengangkat tas-tas yang kami bawa di punggung lalu menyandarkannya di pohon, lalu kami mengobrol. Tapi entah mengapa muka Oza terlihat khawatir, entah apa yang dia pikirkan.

“Dit lu tadi udah sholat belum sih? Tadi soalnya pas kita sholat tadi lu malah tiduran di pos,” tanya Doni.

“Eh, yaudahlah masa’ gue belum sholat!” jawab si Radit.

“Oh, yaudah.” Jawab Doni.

Setelah beberapa saat, “Eh lex, gue kebelet kencing nih,” ucap Doni melihat kearahku.

“Terus napa?” Kataku.

“Temenin dong Lex… temenin plisss!” jawabnya dengan nada orang memohon.

“Ah, jangan gue kek, gue capek banget ini mending Oza aja noh!” Kataku sambil menunjuk ke arah Oza menggunakan kepalaku. Oza adalah pendaki berpengalaman jadi dia nggak akan capek kalau cuman mendaki 1 atau 2 jam.

“Yaudah, ayo Don! kebetulan gue juga lagi kebelet ini” Jawab Oza, dia memang pria yang peka.

“Noh, udah cepet sana!” Ucapku sambil tersenyum lega.

“Iya, siap kak Alex. Ayo za!” Jawab Doni dengan nada mengejek, anak ini emang seneng sekali bikin jengkel orang. Mereka berdua berdiri lalu pergi meninggalkan aku bersama Radit di bawah pohon besar.

“Tunggu bentar ya, kita mau kencing di sana!” seru Oza, sembari menunjuk tempat yang akan mereka tuju.

“Oke!” Balasku dengan seruan.

Mereka pun berjalan menuju jalan yang mereka tuju.

Di bawah pohon yang besar, dengan suhu dingin yang terasa seperti menusuk-nusuk kulitku, aku dan Radit ngobrol, “Oiya Dit, kok si Oza sama si Doni lama banget ya?” Kataku teringat mereka berdua.

“Iya juga ya, udah hampir 10 menit loh ini” balasnya khawatir.

Aku melihat kearah jalan yang mereka tuju. Kekhawatiranku bertambah setelah 5 menit berlalu. Oza dan Doni tak kunjung kembali juga, aku melihat ke arah Radit. Kami tidak mengeluarkan sepatah katapun selama 5 menit terakhir, mungkin Radit takut sekaligus khawatir kalau terjadi yang tidak-tidak terhadap mereka berdua. Setelah beberapa saat dalam keheningan entah mengapa suasana kami terasa berbeda.

“Dit, lu ngerasain sesuatu yang beda gak?” Ucapku pelan-pelan.

“Iya nih, entah mengapa suhunya terasa lebih dingin dari sebelumnya, dan…” terjeda, dan apa? tanyaku dalam hati sambil menggosokkan kedua telapak tanganku agar terasa sedikit hangat, “dan, tiba-tiba mucul kabut” entah mengapa Radit menatapku dengan muka ketakutan, tangannya mulai gematar.

“Ada apa, Dit?” Tanyaku heran.

“Lex, sepertinya kita harus meninggalkan tempat ini segera!” kata Radit ketakutan.

“Apa maksudmu? Kita harus menunggu Oza dan Doni, Dit!”

“Tidak perlu Lex, kita harus meninggalkan tempat ini segera sebelum terlambat” ucap Radit dengan panik sampai keluar keringat dingin, tangan gemetar.

Dari kejahuan telihat bayangan seseorang yang mendekati kami, Radit ketakutan berlari lalu melompat ke belakangku. Sosok itu tertatih-tatih berjalan cepat ke arah kami berdua. Radit tambah takut gemetar, aku dengan berani menyalakan lalu mengarahkan senter di kepalaku ke arah sosok itu, ternyata itu Doni!

“Oiii doon! Lama benget sih?” Seruku memanggil Doni, aku terkejut saat senterku menyorot ke arah wajah Doni, mukanya terlihat pucat seperti seorang yang tak memiliki nyawa.

“Lu ngapain aja lama benget? Oiya, si Oza mana, Don?” Tanyaku penasaran, dengan wajah yang pucat, lesu, dengan peluh dingin yang menempel dikulitnya.

Doni menjelaskan, “Dengerin baik-baik ya, Lex, Dit. Oza tadi kan gue suruh nungguin dijarak yang agak jauh dari tempat kencing gue, nah, pas gue kembali ke tempat itu, si Oza hilang!”

“Hah!” Aku dan Radit terkejut.

“Duuhh… te-terus kita mau gimana?” Tanya radit dengan suara gemetar.

“Mau gimana lagi, ayo kita cari Oza bersama, aku yakin dia masih ada di sekitar tempat kencingku tadi.” Aku dan Radit mengangguk.

Kami mengambil tas kami masing-masing, tas Oza kubawa. Kami mulai menyusuri tempat yang dimaksud oleh Doni bersama-sama dengan senter kepala yang kami pakai dikepala kami masing-masing. Baru juga sampai ditempat yang Doni maksud kami terkejut karena ada sepasang sepatu dan headlamp yang tergeletak di bawah pohon yang tingginya 4-5 meter, aku dan Radit yang mengira itu adalah sepatu milik Oza berlari menuju ke arah sepatu tersebut.

Setibanya kami berdua di bawah pohon dan memungut sepatu dan headlamp yang tergeletak ditanah, tiba tiba ada sosok yang jatuh dari pohon dan berdiri tepat dibelakang kami dan..,

“BWAAAAAAA!!”

“WAAAA!!” Aku dan Radit sontak terkejut lalu refleks menutupi kepala kami dengan kedua lengan kami.

 “WAHAHAHAHA! Apalah kalian ini gini doang kok takut!?” Aku yang masih agak ketakutan perlahan membuka mataku dan meregangkan kedua lengan yang menutupi kepalaku, lalu aku melihat Doni dan Oza yang tertawa berguling-guling sampai air mata mereka keluar.

Aku dan Radit masih terdiam, masih mematung dengan wajah terkejut. Perasaan lega karena itu cuma candaan sedikit teredam oleh rasa jengkel yang muncul begitu saja. Doni dan Oza masih tertawa terbahak-bahak, hingga aku bisa melihat perut mereka yang mulai sakit karena terlalu banyak tertawa.

“Aduh, Oza, Doni, lo pada gila ya?!” seruku dengan suara setengah marah, mencoba menahan amarah yang mulai menggebu di dada.

“Lo kira kita ini apa? Lo pikir ini lucu?” Radit yang awalnya hanya diam, kini mulai membuka suara, “Iya, Oza! Don, itu gak lucu loh! Kita semua kan udah khawatir banget! Gue sampe gemetar tadi!”

Oza berhenti tertawa sejenak, tapi senyum jahilnya masih mengembang di wajahnya.

“Hehehe, iya, sorry-sorry, Lex, Dit. Cuma iseng dikit kok,” jawabnya sambil mengusap wajahnya yang masih basah oleh air mata tawa. Doni juga mulai tersadar dan menghentikan tawanya.

“Iseng? Iseng lo bikin kita panik setengah mati, Za! Gue kira lo beneran hilang! Doni juga kayak orang bingung setengah mati!” kataku, suara agak meninggi karena frustasi.

Doni yang melihat aku kesal, mencoba mengalah. “Maaf banget, Lex. Gue cuma pengen ngerjain kalian, biar ada serunya dikit, kan udah lama kita jalan jauh. Tapi, ya gue ngerti sih, kalo kalian sampe khawatir gitu,” jawabnya sambil menggaruk kepala, merasa bersalah.

Oza ikut menundukkan kepala sedikit, tanda menyesal.

“Gue juga minta maaf, Lex. Gue gak nyangka bakal bikin kalian segitunya. Gue cuma pengen bikin suasana jadi ringan, tapi ternyata malah jadi kebablasan.”

Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Rasanya campur aduk antara lega dan marah, tapi aku sadar bahwa kemarahan ini cuma sementara.

“Gak lucu, Za. Gue beneran khawatir loh. Kalo lo hilang beneran gimana?” Aku menatap mereka satu per satu, merasa sedikit lebih tenang meski amarah masih terasa sedikit membekas.

“Iya, iya, gue ngerti. Tapi lo berdua jangan bikin gue jantungan lagi ya,” kataku dengan nada sedikit lebih lembut, meskipun masih ada ketegangan di wajahku. Oza dan Doni saling pandang, kemudian mereka mengangguk dan kembali tertawa kecil. Namun kali ini, tawanya terdengar lebih tulus, seperti mereka benar-benar menyadari kesalahan mereka.

“Oke, kita janji. Kali ini terakhir deh,” kata Oza dengan senyum nakal yang masih belum hilang sepenuhnya.

Doni menambahkan, “Dan kali ini beneran, ya. Kita gak akan bikin lo panik lagi.”

Aku menghela napas panjang, akhirnya bisa sedikit tersenyum meski rasa jengkel masih tersisa di dalam hati.

“Oke deh, gue maafin. Tapi kalian berdua harus bayar utangnya, loh. Setiap kali kita berhenti, kalian yang bawa tas!” seruku sambil tersenyum sinis. Mereka berdua langsung cemberut, tapi akhirnya setuju juga.

Setelah kejadian itu, perjalanan kami pun kembali dilanjutkan. Kami melanjutkan pendakian, berjalan beriringan dengan jarak yang semakin melebar karena medan yang makin menantang. Rasa cemas yang sempat menggelayuti hati perlahan memudar, meski aku tetap waspada. Namun, entah mengapa, suasana di sekitar kami mulai berubah.

Seiring waktu, angin yang sebelumnya hanya berhembus ringan kini terasa semakin dingin, hingga menusuk tulang. Suasana terasa sepi, dan kabut tipis mulai menyelimuti sekitar kami. Rasanya, waktu berjalan lebih lambat dari biasanya. Aku terus melangkah dengan cepat, mencoba untuk tetap fokus pada jalur pendakian yang semakin curam.

Sesekali aku menengok ke belakang untuk memastikan kami tetap bersama dan tak ada yang tertinggal. Tapi, ketika aku menoleh lagi, aku mulai merasa ada yang aneh. Doni dan Oza terlihat berbeda. Wajah mereka pucat, dan tubuh mereka terlihat lesu, seperti mereka kehabisan tenaga meski baru beberapa jam berjalan. Mereka seolah-olah tidak berada dalam keadaan normal.

Aku sempat meremang, mencoba mengabaikan perasaan itu, namun semakin lama aku semakin yakin ada yang tidak beres. Meskipun mereka berdua tampak seperti mereka yang biasa—Oza yang selalu penuh energi dan Doni yang tak pernah berhenti bercanda—sekarang mereka terlihat jauh lebih lesu, bahkan seperti ada yang hilang dari mereka.

Aku menatap Radit yang berjalan di sampingku, dan melihatnya juga melirik ke belakang.

“Dit, lo lihat gak sih?” bisikku pelan, takut kalau-kalau suara kami terdengar oleh mereka berdua. Radit mengangguk pelan, wajahnya mulai terlihat cemas. “Iya, gue liat, Lex. Mereka… aneh. Kayak bukan mereka lagi.” Aku menggigit bibir, jantungku mulai berdetak lebih cepat.

Kami melangkah lebih cepat, namun ketegangan yang terasa di udara semakin mencekam. Seolah ada sesuatu yang menekan di dada, dan semakin lama semakin sulit untuk bernapas dengan tenang. Aku menengok lagi ke belakang, kali ini dengan lebih jelas. Doni dan Oza berjalan pelan, langkah mereka tampak ragu, dan mata mereka kosong, seolah tidak melihat apa-apa. Mereka bahkan tidak terlihat seperti mereka yang sedang dalam perjalanan bersama kami. Rasanya, mereka menjadi sosok yang asing, yang bukan lagi teman-temanku. Aku menelan ludah, hati mulai dipenuhi rasa takut yang tak bisa kuhindari.

“Radit, gue nggak yakin mereka baik-baik aja. Ada yang salah sama mereka,” ucapku. Kali ini dengan suara yang lebih keras. Radit mengangguk, wajahnya terlihat semakin gelisah.

“Kita harus berhenti, Lex. Ini nggak beres. Kita harus tahu apa yang terjadi.” Kami pun berhenti di jalur yang sedikit lebih datar, menunggu mereka berdua. Doni dan Oza hanya diam, tidak menanggapi kami yang sudah berhenti.

Aku merasa semakin tercekik oleh kecemasan, namun tetap mencoba untuk berpikir jernih. Mereka berdua akhirnya berhenti juga di depan kami, berdiri dengan pandangan kosong.

“Ada apa, Don? Za?” tanyaku ragu, berusaha membuka percakapan.

Namun, yang menjawab bukan Oza atau Doni, melainkan suara angin yang semakin kencang, mengelilingi kami dengan semakin misterius. Kami berusaha untuk berbicara dengan Doni dan Oza, namun mereka hanya menjawab dengan desahan samar, “hmmmm…” seperti tidak mendengarkan kami dengan jelas.

Rasanya seperti ada yang aneh dengan mereka, tapi aku mencoba untuk berpikir positif. Mungkin mereka hanya bercanda lagi, atau kelelahan setelah perjalanan panjang. Setelah dua jam perjalanan yang melelahkan, akhirnya kami tiba di tempat camp untuk melihat sunrise di Gunung Penanggungan. Kami mendirikan tenda, makan ringan, dan sedikit berbincang sebelum akhirnya tertidur kelelahan.

Aku terbangun sekitar pukul 2 pagi. Kami harus segera berangkat agar bisa melihat sunrise tepat waktu. Aku meraih jam tangan dan melihat waktu yang semakin mendekat. Dengan setengah mengantuk, aku beranjak untuk membangunkan Doni dan Oza, namun saat aku melihat ke tempat tidur mereka… mereka sudah tidak ada. Hilang, Seperti angin yang tiba-tiba menghilang membawa mereka. Aku terdiam, seakan tak percaya, lalu memanggil mereka berdua dengan suara pelan, “Doni? Oza?”

Tidak ada jawaban.

Keheningan malam itu terasa semakin mencekam. Aku berlari menghampiri Radit, wajahku panik.

“Dit, Oza sama Doni hilang! Mereka nggak ada di dalam tenda!” kataku terburu-buru.

Radit yang terbangun langsung tampak kebingungan.

“Mungkin mereka kelelahan kemarin, Lex. Setelah istirahat mereka berangkat duluan kali ya,” jawabnya mencoba tenang.

Aku pun mencoba berpikir begitu, meskipun perasaan khawatir mulai merayap dalam hati. Kami berdua akhirnya sholat subuh bersama, berusaha menenangkan diri. Setelah itu, kami melanjutkan perjalanan dengan cepat, berusaha mengejar waktu dan juga Oza dan Doni, jika mereka memang sudah berangkat lebih dulu.

Sekitar satu setengah jam kemudian, kami akhirnya tiba di puncak Gunung Penanggungan. Kami berdiri di sana, terpesona oleh keindahan matahari yang mulai muncul di balik gunung, melukis langit dengan warna emas yang menakjubkan.

“Masyaallah, Indah banget ya, Lex,” ucap Radit, wajahnya sedikit lebih tenang meski masih terlihat cemas.

“Tapi, Oza dan Doni di mana ya? Kenapa nggak ada kabarnya?” Aku hanya mengangguk, menatap pemandangan indah di depan kami.

“Entahlah, Dit. Tapi gue rasa ada yang nggak beres.” Aku menggigit bibir, mencoba mengabaikan perasaan yang semakin mengganggu.

Kami berdua tetap duduk di sana, menikmati sunrise, tapi perasaan gelisah itu tak kunjung hilang. Aku dan Radit duduk diam di puncak, menunggu dengan harapan tinggi bahwa Doni dan Oza akan muncul tiba-tiba. Matahari perlahan semakin meninggi, namun mereka tak kunjung datang.

Keheningan yang sebelumnya terasa menenangkan, kini berubah menjadi penuh kecemasan. Kami mulai saling pandang, rasa khawatir yang semula bisa kami tahan kini mulai memuncak.

“Ayo, Dit, kita turun aja deh,” kataku akhirnya, suara penuh kepasrahan. “Mungkin mereka udah turun lebih dulu.” Radit mengangguk setuju.

Kami pun mulai menuruni puncak dengan langkah cepat, harapan kami hanya satu—menemukan mereka di camp atau setidaknya mencari tahu apa yang terjadi.

Sesampainya di camp, kami terkejut setengah mati. Di sana, duduk dengan santai, Oza dan Doni sedang asyik memakan mie cup sambil ngobrol seperti biasa. Mereka tampak tenang, seolah tidak ada yang terjadi.

“Apa yang kalian lakukan? Di mana kalian tadi?” tanyaku, hampir tak percaya dengan apa yang kulihat. Oza menatapku dengan mata yang sedikit lelah, namun masih ada senyum di wajahnya.

“Kami… kami ditarik oleh sesuatu di hutan tadi,” katanya pelan, seperti berusaha mengingat-ingat kejadian yang terjadi. “Kami terjatuh dan pingsan beberapa saat. Pas sadar, kami melihat kalian berdua sedang menunggu dan ngomong, ‘Ayo kita lanjutkan.’ Kami sempat bingung, tapi akhirnya kami coba ikut kalian.” Doni menambahkan dengan wajah sedikit pucat.

“Tapi ada yang aneh, Lex. Kalian berdua diam aja, gak ngomong apa-apa. Entah kenapa, tas kami juga hilang tiba-tiba.”

Aku dan Radit saling berpandangan.

“Hilang?” Radit bertanya, suaranya hampir berbisik.

Oza melanjutkan, “Iya, tas kami hilang, dan gue pengen tanya sama lo, Lex, tapi gue teringat kembali kejadian aneh tadi malam… yang kita pikir itu cuma bercandaan.”

Aku menelan ludah, perasaan cemas kembali datang.

“Jadi, kalian ikut kami, dan tiba-tiba kami menghilang?” tanyaku dengan ragu. Oza mengangguk. “Iya, pas sampai di sini, kami terkejut banget, kalian tiba-tiba menghilang. Begitu sampai di camp, tenda udah berdiri, dan kami kelaparan, jadi ya udah langsung cari mie cup dan masak.”

Doni menambahkan, “Kami coba sadar-sadar, tapi rasanya kayak nggak bisa mikir jernih. Semua jadi kabur. Untungnya kami sadar dan nggak terlalu jauh dari sini.”

Kami semua terdiam sejenak. Suasana yang tadinya ceria kini terasa mencekam. Rasanya seperti ada yang salah, dan kami tak tahu harus berpikir apa lagi. Aku memandang ke arah tenda yang berdiri tegak, terbayang kembali apa yang terjadi semalam, dan pertanyaan itu muncul lagi di benakku: Apa yang sebenarnya terjadi pada kami?

Radit menyela, mencoba menenangkan kami. “Apapun itu, nggak usah dipikirkan. Yang penting, kita semua bisa turun dan pulang bersama dengan selamat,” katanya tegas, meski masih ada sedikit kecemasan di matanya. Kami mengangguk setuju, dan perlahan senyum kembali merekah di wajah kami.

“Iya, lo bener, Dit,” jawabku, mencoba mengalihkan pikiran dari kejadian aneh itu. Kami pun melanjutkan ngobrol di depan tenda dengan santai, meski ada sedikit keheningan di antara kami. Waktu berlalu begitu saja, dan tanpa terasa jam sudah menunjukkan pukul 07.00.

“Kita beres-beres aja, yuk,” ucap Oza, berdiri dan mulai merapikan peralatan.

Kami semua ikut membantu, mengemas barang-barang dengan cepat. Setelah semuanya siap, kami mulai turun bersama, melangkah dengan hati yang sedikit lebih lega. Kejadian semalam masih membekas di pikiran, tapi yang penting, kami bisa turun dengan selamat—bersama, seperti yang Radit katakan.

Setelah beberapa hari sejak kami mendaki, hidup kami berjalan normal seperti biasanya. Namun suatu malam aku pernah bermimpi bahwa ada seorang putri yang sangat cantik seakan dia adalah keturunan bangsawan yang sangat dihormati pada masanya.

Dia mengawasi aku, Radit, Dani, dan Oza ketika kita mendaki. Aku menatapnya diapun menatapku juga, lalu ia… tersenyum.

 

*) Penulis: Ubaidillah Azzam Timur, merupakan siswa SMAIT Nur Hidayah Sukoharjo, Jawa Tengah

 

 

 

 

Related posts
Tutup
Tutup