Karya: Alhayu Navisa Nuha*
Menjadi berbeda bukanlah suatu keanehan. Layaknya paus yang berbicara melalui frekuensi, manusia pun memiliki caranya sendiri. Meskipun frekuensi mereka tak sama, namun setiap individu, apakah itu paus, manusia, atau makhluk lainnya, memiliki caranya sendiri untuk berkomunikasi dan untuk ada di dunia ini.
Jika kita mau membuka mata dan melihat lebih dalam, kita akan menyadari bahwa perbedaan bukanlah suatu keanehan—justru, perbedaan adalah bagian dari kekayaan dunia yang membentuk keragaman dan memberikan makna pada kehidupan.
Kisah ini bermula dari Gama, seorang remaja yang selalu merasa asing di tengah keramaian. Hari-harinya ia lewati tanpa banyak interaksi, hanya sebatas apa yang diperlukan untuk memenuhi kewajiban di sekolah. Orang-orang sering menganggap Gama aneh—pendiam, canggung, dan tak jarang orang memanggilnya psycho.
Gama layaknya Paus 52-hertz, paus paling kesepian di dunia. Meskipun ia berada di kelas yang penuh dengan teman-teman, hatinya tetap kesepian, karena ia merasa suaranya tak pernah bisa disamakan dengan mereka. Namun, di balik sikapnya yang ( tertutup, ada banyak hal yang tak terlihat oleh mata orang lain.
Siang itu, dengan kaki yang gemetar Gama berjalan menuju meja teman sekelasnya. Kepercayaan dirinya benar-benar nol besar! Memang setiap ada tugas, sering kali Gama terpaksa harus bekerja sendiri. Namun, tugas kali ini akhirnya menuntutnya untuk bergabung dengan suatu kelompok.
Pada awalnya ia merasa sedikit lega, namun dengan cepat merasa terpojok begitu ia menyadari, ia tidak bisa mengimbangi energi mereka. Setiap kali Gama mencoba untuk ikut bergabung dalam percakapan, rasanya seolah ada jarak yang tak bisa dijembatani.
Gama hanya duduk di pojok, berusaha menyelesaikan bagian tugas yang diberikan padanya tanpa banyak berinteraksi. Ia merasa setiap kata yang keluar dari mulutnya terhambat oleh keraguan. Perasaan takut dan tidak nyaman semakin menghimpitnya, seakan seluruh dunia di sekitarnya terlalu besar dan mengintimidasi.
Tak seperti remaja pada umumnya, waktu pulang sekolah adalah waktu yang sangat dibenci oleh Gama. Gama berjalan pulang dengan hati penuh kegelisahan. Kegelisahannya bukan tanpa sebab, karena setiap Gama pulang, ia akan disambut oleh ayahnya yang seorang pemabuk. Bahkan saat Gama tengah berdiri di ambang pintu, bau alkohol yang menyengat memenuhi indra penciuman Gama.
Sungguh, ia tak akan pernah merasa terbiasa dengan semua ini. Hari itu pun Gama tak luput menjadi sasaran kemarahan ayahnya.
BUGH!
“Dasar anak gak tahu diuntung! Bukannya kerja, cari duit buat ayahnya malah sekolah gak jelas. Mati aja sana!”
Begitulah ia mendapat lebam dan memar yang meradang di sekujur tubuhnya. Semua orang tak ada yang tahu, kecuali dirinya sendiri, bagaimana rasanya hidup di bawah bayang-bayang kekerasan fisik dan emosional yang selalu datang menghampiri. Setiap pukulan dan kata kasar yang terlontar, perlahan membuat Gama semakin tertutup.
Baginya, tak ada tempat yang aman di dunia ini. Gama belajar untuk tidak berbicara, untuk tidak mengungkapkan perasaannya—ia takut jika kata-katanya justru akan memperburuk keadaan. Malam semakin larut, Gama yang berhasil melarikan diri dari rumah bak neraka itu terduduk diam di dermaga. Wah, menakjubkan, kali ini ia mendapat sebuah luka baru, goresan kecil dengan sedikit darah segar di pelipis dahinya.
Gama menghela napas berat, menatap lamat-lamat bayangan bulan yang terpantul di permukaan air. Seakan mengingatkan bahwa dalam kesunyian, ada kedamaian yang lebih dalam, seolah-olah dunia berhenti sejenak.
Gama menunduk, “Mau sampai kapan aku terus lari kaya gini?” Kekehan kecil terdengar samar. Seolah ia sedang mengolok nasibnya sendiri, menertawakan betapa pengecutnya dirinya.
”Bun, Gama kangen bunda. Harusnya bunda bawa Gama aja, Gama pengen pergi dari sini.” Gama memeluk erat gitar peninggalan bunda, seolah tak ingin lepas dari harta satu-satunya itu.
Setelah keheningan yang cukup lama, Gama mulai memetik senar gitarnya, menghasilkan suara yang lembut dengan harmoni yang sangat sopan mengalir di telinga. Namun alunan indah itu terhenti seketika saat Gama terkejut dengan kehadiran orang yang tiba-tiba duduk di sampingnya.
Saat ia perhatikan wajahnya, itu Kai! teman sekelasnya. Berbanding terbalik dengan Gama, Kai adalah tipe orang yang ceria, penuh semangat, dan sering kali menjadi pusat perhatian. Kenapa pula selebriti sekolah ini ada di sini?
“Kamu bisa main gitar?” tanya Kai dengan antusias, memecah lamunan acak Gama.
Gama hanya mengangguk pelan, sedikit tersipu. Tidak banyak orang yang tahu tentang hobi Gama bermain gitar. Itu adalah satu-satunya cara Gama mengungkapkan apa yang tak bisa diucapkannya dengan kata-kata.
“Aku nggak tahu loh ternyata kamu jago banget main gitar!” puji Kai dengan mata berbinar.
“Kapan-kapan ajarin aku dong!” Gama hanya tersenyum kecil, merasa sedikit canggung.
Tetapi ada sesuatu dalam tatapan Kai yang membuatnya merasa nyaman. Kai tidak menghakimi. Kai tidak menuntutnya untuk berbicara lebih banyak atau menjadi seseorang yang bukan dirinya. Malam itu mereka habiskan bersama di tepi dermaga.
Seiring dengan angin yang berhembus pelan, seolah membawa mereka jauh ke dalam dunia yang lebih luas, penuh keindahan yang tak terucapkan. Gama mengiringi suasana itu dengan harmoni yang halus, seiring dengan irama yang melambat, mengalun, membaur bersama angin.
Hari-hari berikutnya, Kai mulai membuntuti Gama. Entah bagaimana, Kai seakan tertarik dengan Gama yang selalu tampak sendirian. Mereka mulai menghabiskan waktu bersama di kelas.
Seperti saat ini.
“Ah, main gitar susah banget ternyata! Kamu aja lah yang mainin.” Kai menyodorkan gitarnya ke arah Gama. Sang pemilik hanya tertawa kecil menanggapinya.
Begitulah interaksi keduanya, Kai tidak pernah memaksa Gama untuk berbicara lebih dari yang ia inginkan. Mereka lebih sering diam bersama, mereka hanya berbicara jika perlu, dan sisanya mereka habiskan bersama dalam keheningan yang membuat Gama merasa aman.
Kai pun mulai menyadari bahwa Gama bukanlah orang yang pemurung seperti yang banyak orang pikirkan. Melalui petikan gitar Gama, Kai mulai mengenal Gama lebih dalam. Setiap kali Gama memainkan gitar, Kai merasakan seakan Gama sedang berbicara tanpa suara—menyampaikan perasaan yang selama ini terkubur dalam diamnya. Melodi yang keluar dari gitar itu terasa seperti jendela menuju jiwa Gama yang tersembunyi, yang perlahan mulai terbuka, meskipun bukan dengan kata-kata.
“Aku seneng kamu jadi lebih terbuka, Gama.” Kai tersenyum sembari sedikit mengacak rambut sang lawan bicara.
Gama terdiam sejenak, “Semua karena kamu Kai, terima kasih ya. Akhirnya aku punya tempat buat pulang.” Sebuah senyuman merekah dari sudut bibirnya, perasaan bahagia membuncah dari dalam dadanya.
Kai tertawa geli, “Jangan terima kasih sama aku! Kamu harusnya bilang terima kasih ke dirimu sendiri. Terima kasih udah lewatin hal-hal terberat sampai detik ini. Kamu hebat, Gama.”
Akhirnya, Gama menemukan suaranya. Dengan gitar di tangannya, ia merasa lebih percaya diri dan berani. Ketika ia memainkan senar gitar, seakan suara hatinya ikut terungkap, mengalir melalui setiap petikan. Dalam diamnya, Gama tidak merasa kesepian lagi. Ia merasa ada seseorang yang akhirnya bisa mendengarkannya, bahkan tanpa perlu berbicara. Kai, yang selalu setia di sampingnya, akhirnya menjadi teman sejati yang bisa memahami Gama lebih dari siapapun. Melalui Kai, Gama menemukan ‘suaranya’—bukan dalam kata-kata, melainkan dalam melodi yang mengalir dari petikan gitarnya.
Seiring waktu, Gama mulai menerima dirinya. Di dunia yang kadang tampak terlalu keras, ia menemukan tempat di mana ia bisa merasa aman, dihargai, dan dipahami. Layaknya paus 52-hertz, yang meski kesepian namun terus melanjutkan perjalanan hidupnya di laut luas, Gama pun pada akhirnya menemukan jalan menuju pemahaman dirinya.
Mungkin tidak semua orang akan mengerti, namun Gama menyadari bahwa ia tak perlu menjadi seperti orang lain untuk merasa diterima. Keunikan dan suara yang berbeda justru bisa menjadi kekuatan, bukan kekurangan.
*) Penulis bernama Alhayu Navisa Nuha, Siswa SMKN 1 Pungging Jurusan Teknik Komputer dan Jaringan