Karya: Arum Kusuma Wardani*
Pak RT Santoso itu, ya, bisa dibilang ikon Desa Mulyoharjo. Bukan karena wibawanya yang setinggi gunung, tapi karena sepeda onthel tuanya yang setia menemani blusukan dari pagi sampai sore. Sepeda itu saking tuanya, kalau dikayuh suka mengeluarkan bunyi mirip gerobak es puter yang bannya kempes.
“Pak RT, ganti sepeda baru dong!” goda Mas Bowo, si tukang cilok, tiap kali Pak RT lewat.
Pak RT cuma nyengir, “Ah, ini mah warisan. Lebih irit bensin daripada motor!”
Desa Mulyoharjo itu desa yang tenang. Warganya ramah, gotong royong masih jadi napas utama. Tapi, ada satu hal yang beberapa minggu terakhir bikin Pak RT gelisah: kursi kosong di pos ronda. Bukan sembarang kursi, itu kursi kesayangan Bu Darmi.
Bu Darmi itu tetangga Pak RT, janda setengah baya yang punya cucu segudang dan hobi banget nongkrong di pos ronda. Tiap sore, jam lima pas, Bu Darmi sudah duduk di kursinya, bawa termos air panas, teko teh, dan sepiring singkong rebus hasil kebunnya. Kalau sudah kumpul, Bu Darmi jadi motor utama gosip sekaligus penasihat dadakan. Dari resep tempe mendoan paling enak sampai cara menjinakkan ayam jago yang suka nyerang jemuran, semua bisa ditanya ke Bu Darmi.
Nah, dua minggu terakhir, kursi Bu Darmi kosong melompong. Awalnya warga mikir Bu Darmi lagi sakit. Tapi, setelah ditengok, Bu Darmi baik-baik saja. Sehat walafiat, bahkan lebih semangat dari biasanya.
“Aku lagi sibuk banget, Pak RT,” katanya suatu pagi saat Pak RT sengaja mampir.
“Sibuk apa, Bu? Biasanya jam segini udah nyapu jalanan sambil ngobrol sama Bu Minah,” tanya Pak RT penasaran.
Bu Darmi cuma senyum misterius. “Rahasia. Pokoknya penting.”
Keesokan harinya, Pak RT melihat Bu Darmi memanggul karung goni berisi entah apa, menuju sawah di ujung desa. Besoknya lagi, Bu Darmi terlihat pulang dengan tangan berlepotan tanah dan wajah sumringah. Warga jadi bingung. Ada yang bilang Bu Darmi lagi kursus silat, ada yang bilang lagi nyari harta karun, bahkan ada yang nyeletuk, “Jangan-jangan Bu Darmi lagi PDKT sama Pak Lurah Desa Sebelah!”
Pak RT, yang merasa bertanggung jawab atas segala hal di desanya, termasuk kursi kosong di pos ronda, mulai melakukan “investigasi” kecil-kecilan. Tiap sore, dia sengaja lewat depan rumah Bu Darmi. Tapi Bu Darmi selalu menghilang sebelum magrib dan muncul lagi setelah isya, saat pos ronda sudah sepi.
Puncaknya, suatu Minggu pagi, saat Pak RT sedang mengayuh sepedanya menuju balai desa untuk rapat koordinasi, dia melihat Bu Darmi di tengah sawah. Bu Darmi tidak sendiri. Ada beberapa ibu-ibu lain, muda dan tua, dan beberapa anak-anak yang terlihat antusias mendengarkan penjelasan Bu Darmi.
Pak RT memarkir sepedanya di pematang. Pelan-pelan dia mendekat. Bu Darmi, dengan topi caping dan cangkul kecil di tangan, sedang menunjuk-nunjuk tanah.
“Nah, ini bibit kangkung yang kemarin kita semai. Lihat, kan? Sudah mulai keluar daunnya,” jelas Bu Darmi, suaranya lantang dan bersemangat. “Kita harus rawat baik-baik, ya. Jangan cuma nyemai terus ditinggal.”
Ternyata, Bu Darmi sedang menggarap lahan tidur milik desa yang dulunya mangkrak dan ditumbuhi ilalang. Dia mengajak ibu-ibu PKK dan pemuda karang taruna untuk menanam sayuran. Ada kangkung, bayam, sawi, bahkan beberapa bedeng untuk cabai. Proyek ini dinamai “Kebun Sejahtera Mulyoharjo”, ide murni Bu Darmi yang ingin melihat warga desanya punya kemandirian pangan, tak melulu bergantung pada pasar desa. Dia sering bilang, “Kalau perut kenyang dari kebun sendiri, hati pun ikut senang dan damai.”
“Pak RT!” seru Bu Darmi saat menyadari kehadiran Pak RT. “Sini, Pak! Lihat, kebun kita sudah mulai hijau!”
Pak RT tertegun. Di hadapannya terhampar bedengan-bedengan sayur yang mulai menunjukkan batang dan daun hijau. Aroma tanah basah dan daun-daunan segar menyeruak.
“Jadi, ini ‘kesibukan penting’ Bu Darmi?” tanya Pak RT, matanya berbinar.
Bu Darmi tertawa. “Iya, Pak RT. Daripada cuma gosip di pos ronda, mending tenaga dipakai buat yang lebih produktif. Ini nanti kalau panen, hasilnya bisa buat bantu dapur warga yang kurang mampu, sebagian lagi bisa kita jual. Lumayan kan buat kas PKK?”
Pak RT hanya mengangguk-angguk, takjub sekaligus terharu. Dia membayangkan, berapa banyak sayuran segar yang akan dihasilkan dari kebun ini. Berapa banyak warga yang akan terbantu. Dan betapa ide sederhana dari Bu Darmi ini bisa menggerakkan banyak orang.
Sore harinya, saat adzan Magrib berkumandang, Pak RT kembali mengayuh sepeda onthelnya melewati pos ronda. Kursi Bu Darmi masih kosong. Tapi kali ini, Pak RT tidak lagi merasa gelisah. Sebaliknya, ada rasa bangga dan haru yang menyelimuti hatinya.
“Pak RT,” suara Bu Darmi memanggil dari kejauhan. Bu Darmi datang tergopoh-gopoh, membawa sebungkus besar daun kangkung segar. “Ini, Pak, kangkung pertama dari kebun kita. Buat makan malam. Nanti malam saya janji duduk di pos ronda lagi. Tapi bawa singkong goreng, ya, biar ada temennya.”
Pak RT tersenyum lebar. “Siap, Bu Darmi! Nanti saya minta istri gorengin singkong sekebon!”
Malam itu, kursi Bu Darmi di pos ronda kembali terisi. Kali ini, bukan hanya obrolan ringan tentang gosip desa, tapi juga diselingi cerita semangat tentang bibit kangkung yang tumbuh subur, rencana panen perdana, dan tawa renyah Bu Darmi yang kembali menjadi pusat perhatian.
Sepeda onthel Pak RT mungkin tua, tapi semangat Desa Mulyoharjo, berkat ide Bu Darmi dan gotong royong warganya, selalu baru dan terus berkembang.
*) Arum Kusuma Wardani, seorang penulis lepas yang tertarik dengan berbagai cerita inspiratif dan humanis yang beredar di masyarakat.