Oleh: Sofia Dwi Rahmawati*
Di sebuah desa yang asri, di mana pepohonan hijau melingkupi jalan-jalan kecil yang tenang, tinggal seorang gadis bersama keluarganya. Ia adalah anak bungsu dari dua bersaudara. Kakaknya, seorang laki-laki, sudah dewasa dan selalu menjadi pusat perhatian orang tua mereka.
Awalnya, gadis itu tidak memikirkan perbedaan perlakuan antara dirinya dan kakaknya. Baginya, apa pun yang ia butuhkan selalu terpenuhi, dan itu sudah cukup. Namun, seiring waktu berlalu, ia mulai menyadari sesuatu. Kakaknya selalu mendapatkan yang terbaik—barang baru, perhatian lebih, bahkan dukungan tanpa batas.
Ayahnya sering berkata, “Kakakmu laki-laki, dia harus diberi modal untuk masa depannya.”
Gadis itu hanya mengangguk, berpura-pura mengerti. Namun, di dalam hatinya, ada perasaan yang tak bisa diabaikan.
“Bukankah aku juga punya masa depan?” pikirnya.
Tapi ia memilih diam, berharap semuanya akan berubah ketika ia dewasa.
Suatu sore, ia melihat kakaknya meminta uang kepada ibu mereka.
“Bu, aku butuh uang untuk beli laptop baru,” kata kakaknya santai, seolah permintaan itu bukanlah hal besar.
Ibunya menghela napas, lalu tersenyum kecil. “Ya sudah, tunggu sebentar.”
Melihat itu, gadis itu tersenyum.
“Wah, enaknya jadi dewasa. Nanti kalau aku besar, aku juga bisa minta apa saja, ya?” katanya dengan polos.
Ibunya hanya tersenyum samar, sementara ayahnya menepuk kepalanya dan berkata, “Nanti giliranmu akan datang.”
Namun, waktu berlalu, dan “giliran” itu terasa tak pernah tiba. Ketika ia meminta sesuatu, jawabannya selalu sama.
“Kamu kan masih kecil, tunggu saja.” Atau, “Gunakan yang bekas kakakmu dulu, masih bagus, kok.”
Ia berusaha menerima, meski di dalam hatinya sering muncul rasa iri. “Aku juga ingin barang baru,” gumamnya pelan.
Tapi ia tahu, mengeluh hanya akan membuat orang tuanya semakin terbebani.
Hari demi hari berlalu, dan keadaan keluarga mereka perlahan berubah. Usaha ayahnya tak lagi semakmur dulu. Ketika kakaknya meminta uang untuk sesuatu yang besar, orang tua mereka mulai kesulitan. Gadis itu sering melihat ibunya termenung, mengeluh tentang harapan yang tak lagi sejalan dengan kenyataan.
“Ibu dulu yakin kakakmu akan membantu perekonomian keluarga,” keluh ibunya suatu hari.
“Tapi lihat sekarang, semua harapan jatuh ke kamu.”
Gadis itu hanya diam. Ia tahu ibunya tidak bermaksud membebani, tetapi kata-kata itu terasa berat.
“Kamu harus sukses,” ujar ibunya berulang kali.
“Kamu kalau sudah lulus, pilih jurusan yang banyak lowongan kerja, ya. Bagaimana kalau jadi guru? Atau PNS saja, biar hidupmu terjamin.”
Harapan itu terlalu besar untuknya. Gadis itu sering merasa sesak. Ia yang dulu berpikir bahwa menjadi anak bungsu berarti dimanja dan dituruti, kini sadar bahwa anggapan itu tak berlaku untuknya.
Di malam yang sunyi, saat berbaring di kasurnya, gadis itu menangis dalam diam. “Aku capek,” pikirnya.
“Kenapa perjalanan hidupku terasa penuh rintangan? Kakakku punya segalanya dulu, tapi aku harus menerima kenyataan bahwa tanggung jawab terbesar ada di pundakku.”
Namun, di balik rasa lelah itu, ia juga tahu bahwa mengeluh tak akan mengubah apa pun.
Perlahan, ia mencoba membangun keyakinan dalam dirinya. “Mungkin ini jalanku,” bisiknya kepada dirinya sendiri.
“Aku harus kuat, bukan hanya untuk mereka, tapi juga untuk diriku sendiri. Suatu saat, aku akan membuktikan bahwa aku mampu.”
Namun, jauh di lubuk hatinya, ia tetap merasa ragu. “Bagaimana kalau ekspektasi mereka tidak terwujud? Bagaimana kalau aku gagal?” pikirnya. Ketakutan itu menghantuinya, membuat dadanya terasa sesak.
Di luar jendela, suara jangkrik mengisi malam yang sunyi. Pepohonan di sekitar rumah bergoyang lembut ditiup angin, seolah-olah mencoba menenangkan hatinya yang gelisah.
“Aku takut… aku takut tidak bisa menjadi seperti yang mereka harapkan,” bisiknya pelan. “Tolong, Ayah, Ibu, Kak… Jangan terlalu menuntutku. Aku juga punya batas. Aku lelah. Tapi aku tidak tahu bagaimana harus mengatakan ini kepada kalian.”
Gadis itu menutup matanya, mencoba mengusir ketakutan yang terus membayangi. Ia tahu, meski berat, ia harus melangkah. Namun, malam itu, ia membiarkan dirinya menangis, membebaskan semua rasa sakit yang selama ini ia simpan sendiri.
“Besok, aku akan mulai mencari tahu apa yang bisa kulakukan untuk diriku sendiri,” pikir gadis itu sambil menghapus air matanya.
“Aku tidak tahu bagaimana caranya, tapi aku akan mencoba. Semoga aku kuat menjalani ini semua dengan ikhlas.”
“Tuhan, jika memang ini takdirku, berikan aku kemudahan untuk menjalani takdir ini. Berikan aku kekuatan, dan bantulah aku untuk selalu ingat pada-Mu,” bisiknya lirih.
*) Penulis: Sofia Dwi Rahmawati, merupakan siswa SMKN 1 Pungging Jurusan TITL yang aktif di dunia kepenulisan